Rabu, 22 Januari 2014

Rambu Solo' (Upacara Pemakaman Toraja)

   
    Rambu Solo adalah salah satu kebudayaan yang berasal dari Toraja. Jika Rambu Tuka merupakan upacara yang berhubungan dengan syukuran, maka rambu solo adalah kebalikannya yaitu upacara yang berhubungan dengan kedukaan. Yup, Rambu Solo merupakan upacara adat kematian masyarakat Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam  roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah  tempat peristirahatanyang disebut dengan Puya yang menurut kepercayaan orang Toraja berada di Selatan dan dijaga oleh Puang Lalondong. Upacara inilah yang menentukan apakah seseorang ia akan menjadi arwah gentayangan (Bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (To membali Puang), atau menjadi dewa pelindung (Deata). Seseorang dikatakan benar-benar meninggal jika prosesi upacara ini telah dilaksanakan. Oleh karena itu, upacara ini sering dikatakan sebagai penyempurna kematian. Untuk itulah, maka masyarakat Toraja wajib melaksanakan upacara ini dengan cara apapun sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua yang telah meninggal. Upacara Rambu Solo ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan.

    Kemeriahan upacara Rambu Solo’ ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak hewan disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan untuk warga golongan menengah berkisa 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Nilai suatu kerbau dalam masyarakat Toraja tidak hanya dilihat dari umur dan besarnya, tetapi juga dilihat dari warna kulitnya, letak pusaran bulunya, dan reputasinya saat adu kerbau. Jenis kerbau yang paling mahal di Tana Toraja adalah kerbau belang. Harga dari kerbau belang ini mencapai ratusan juta rupiah. Dulunya, upacara ini hanya mampu digelar oleh seorang bangsawan atau yang memiliki strata sosial yang tinggi, namun kini hal tersebut sudah tidak berlaku lagi dikarenakan sudah banyak masyarakat Toraja yang berasal dari strata sosial yang rendah namun karena memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, sehingga mampu menggelar upacara ini.
Kerbau belang merupakan jenis kerbau termahal di Toraja

     Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
  • Dipasangbongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
  • Dipatallung bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipalimang bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipapitung bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
     Upacara rambu solo merupakan salah satu fenomena budaya di nusantara yang mencerminkan semangat kebersamaan dan gotong royong orang Toraja. Orang Toraja dikenal dengan semboyan “misa kada dipotuo pantan kada dipomate”, yang artinya kurang lebih sama dengan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Nilai sosial memang sangat dijunjung tinggi di Tana Toraja, hal  ini bisa dilihat saat persiapan upacara adat yaitu proses pendirian tenda/pondok. Puluhan hingga ratusan pondokan dapat selesai dalam beberapa hari saja berkat campur tangan masyarakat di tempat upacara tersebut dilaksanakan. Suatu masyarakat dalam suatu wilayah tertentu tempat dilaksanakannya upacara ini disebut dengan Pa’tondokan. Pa’tondokan ini juga lah yang menyediakan perlengkapan yang diperlukan dalam melaksananakan upacara rambu solo.

     Tahapan pertama upacara Rambu Solo dimulai dengan pembungkusan jasad atau Ma’tudan Mebalun. Kemudian dilanjutkan dengan Ma’roto yaitu proses penghiasan peti jenazah menggunakan benang emas dan perak. Lalu disusul dengan proses  Ma’popengkalao alang yaitu proses perarakan jasad yang telah dibungkus ke sebuah lumbung untuk disemayamkan. Prosesi selanjutnya adalah Ma’palao atau Ma’pasonglo yaitu proses perarakan jenazah dari Tongkonan ke sebuah pondokan yang berbentuk seperti menara yang disebut Lakkian. Lakkian itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkian sebelum nantinya akan dikubur. Setelah jenazah sampai di lakkian, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara dari jenazah.

    Sebelum kerbau-kerbau disembelih, juga terdapat atraksi budaya berupa adu kerbau (ma’pasilaga tedong). Biasanya kerbau-kerbau menang dalam adu kerbau ini tidak disembelih melainkan dilelang dan uangnya disumbangkan ke tempat ibadah seperti Gereja. Penyembelihan kerbau pun dilakukan dengan cara yang sangat unik, dan merupakan ciri khas masyarakat Tana Toraja yaitu menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan.

    Selain acara adu kerbau, di upacara rambu solo juga dipentaskan beberapa kesenian daerah. Salah satunya adalah ma’badong. Ma’badong merupakan tarian kedukaan yang diadakan dalam upacara ritual kematian masyarakat Tanah Toraja. Tarian ini dilakukan secara berkelompok pada umumnya oleh kaum pria, baik muda atau pun tua, namun wanita juga tidak dilarang. ara penari (pa’badong) membentuk sebuah lingkaran dan saling mengaitkan jari kelingking sambil melantunkan syair dan nyanyian ratapan disertai gerakan tangan dan langkah kaki yang disesuaikan dengan irama lagu. Dulu para ma’badong mengenakan kostum serba hitam namun seiring dengan perkembangan zaman, kostum yang dipakai tidak lagi berwarna hitam. Penari ma’badong bergerak dengan gerakan langkah yang silih berganti. Suasana malam itu menjadi tambah sakral ketika para penari melantunkan syair atau lagu kesedihan (Kadong Badong). Lantunan syair ma’badong ini berisikan riwayat manusia mulai dari lahir hingga mati dan do’a, agar arwah si mati diterima di negeri arwah (Puya) atau alam di alam baka. Lagu dilantunkan oleh si penari ini tidak menggunakan not. Syair dan lagu berisikan semacam catatan sejarah tentang keluhuran budi dan kebesaran jasa tokoh yang telah meninggal dunia tersebut. Lagu atau syair tersebut disebut “Bating” . Bating ini di suarakan oleh Indo’ badong yang mana Indo’ badong tersebut bertugas untuk mengatur setiap syair yang dilantunkan dan bentuk iramanya.

      Prosesi terakhir upacara Rambu Solo adalah penguburan. Kuburan orang Toraja sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (Agama asli Tana Toraja), semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana. Namun kini, setelah masuknya agama Nasrani dan Islam, jenasah mulai dikuburkan di dalam suatu makam berbentuk rumah atau biasa disebut Patane ataupun dikuburkan di dalam tanah. Hanya orang tertentu saja yang ditaruh di atas tebing atau bukit batu.

4 komentar:

Unknown mengatakan...

bagus. hahaha

Unknown mengatakan...

bagus. hahahah

Gustian mengatakan...

wah,, kerenn!!!!! kapan yah gua bisa ksana

Kelik Endarto mengatakan...

mantab gan! lanjutken! kunjungi blog ane ya! : http://gakbetah.blogspot.com